Grandpa Karombi Carrying the Mouth Harp Tradition in Batutamonga
Location: Batutamonga, Tana Toraja, South Sulawesi
Sound: Karombi (also called Pa'karombi)
Karombi is the bamboo mouth harp of the Toraja people of Tana Toraja, in the highlands of South Sulawesi. Similar to many other mouth harps found throughout Indonesia such as the the genggong of Bali and Lombok, the kuriding of South Kalimantan, and the rinding of Central Java, the karombi consists of a small length of carved bamboo - the bamboo is placed to the player's lips, and an attached string is pulled, setting a "tongue" in the center of the instrument to vibrate. The pitch of the buzzing vibration is then manipulated using the mouth as a resonator - tongue, throat, and breathe working together.
The karombi seems to be nearly extinct, with only a few instrument makers capable of producing the instrument, and what seems to be an equally small number of people who are able to play it. Like most jew's harps, it is not an instrument that is used for performance or ritual, merely for personal entertainment. I've found one source, however, that suggests that in times past, the karombi was played by parents of children sick with smallpox, its sound soothing the children to sleep and recovery.
Context:
As I travelled around the area of Tana Toraja on motorbike, I would occasionally ask locals if they know anyone who could play karombi. Most people had heard of the instrument, especially if I mimicked the playing style with my hands, but none knew anyone around their village who played - as one man said, "everyone who played karombi is already dead."
However, my previous research on the internet had turned up a promising lead - a man nicknamed Ne'Karombi, living in the village of Batutamonga in the hills above Rantepao, had already been featured in an extremely low-quality YouTube video, and I'd found one single web page, created by the uploader of the YouTube video, containing some photos and a sketchy biography of sorts. When I showed the video to my friend Frans, a local artist who kindly hosted me in Rantepao, he laughed, pointing at the screen, and told me if I looked behind the musician in the video, I could see Frans himself sitting in the background. Go to Batutamonga, Frans told me, and Ne'Karombi will surely play for you.
The next afternoon I headed to Batutamonga, a village popular with tourists for it's panoramic views of the valley below and its proximity to treks and cultural sites such as graves carved into massive boulders. Upon finding a simple homestay, I asked Mama Yos, the owner, about Ne'Karombi - she seemed confused, but one of her kids piped up and said he knew the place. She insisted I walk to his home escorted by her small child, who shyly practiced English with me along the way.
When we got to his house, Ne'Karombi was outside picking coffee berries from a nearby tree. His house was a typical rumah panggung, a kind of raised, wooden house found all throughout that part of Sulawesi. I'd read that Ne'Karombi had previously had signs outside his home advertising his skills as a musician, perhaps hoping to attract backpackers headed down the small road to Rantepao. At the time of my arrival, he seemed to have given up that scheme.
Upon telling him of my project and politely asking if I could record his music in a quieter area, Ne'Karombi led me up into his simple home, through a room with creaking wooden floorboards and no furniture except a television. We settled in a relatively well-lit corner (one dim lightbulb lit the house) and he proceeded to show me his instruments.
His name, he told me, was Pelipus Randan, but people called him Ne'Karombi, or "Grandpa Karombi." Few people, he lamented, could play his instrument anymore - even a son of his who could make the instrument was unable to play it. Together with his wife, Ludia Sombo allo, he kindly played for me over the sound of passing motorbikes, giggling grandchildren, and roosters.
An informal instrument by nature, the karombi
doesn't even have songs, merely certain patterns that can be played. For a few "pieces", Ne'Karombi's wife joined in on a differently pitched karombi, playing patterns that sometimes matched up, and sometimes didn't. I realized that, like other mouth harp music I've encountered here in Indonesia, it is not a serious artform, with structured compositions or deep spiritual meaning. Rather, it is played merely for the joy of playing.
***
Versi Bahasa Indonesia:
Karombi adalah harpa mulut yang terdapat di Tana Toraja, di daerah pegunungan Sulawesi Selatan. Mirip dengan harpa mulut lain yang ditemukan di kawasan Indonesia seperti genggong dari Bali dan Lombok, kuriding di Kalimantan Selatan, dan rinding diJawa Tengah,
Karombi terbuat dari ruas bambu kecil yang diukir. Cara memainkan Karombi adalah dengan meletakkan bambu ruas di mulut, lalu seutas tali yang tertancap di instrumen ini ditarik. Suara diperoleh melalui getaran yang dihasilkan oleh penempatan lidah di dalam mulut. Ritme dan nada yang dihasilkan dari getaran tersebut dapat dimanipulasi oleh mulut yang berfungsi sebagai resonator. Dengan kata lain, alat musik ini membutuhkan koordinasi lidah, tenggorokan dan pernafasan guna menghasilkan berbagai nada.
Karombi sendiri tampaknya sudah hampir punah, dengan hanya tersisa beberapa pengrajin Karombi. Sementara orang-orang yang dapat bermain Karombi pun tidak berjumlah banyak. Dan layaknya kebanyakan harpa mulut, instrumen ini tidak digunakan untuk pertunjukan atau ritual, melainkan hanya sebagai hiburan pribadi.
Saya bertemu dengan salah satu sumber yang menjelaskan bahwa di zaman dahulu, Karombi dimainkan oleh para orangtua yang anaknya terkena cacar. Nada dari Karombi ini konon dapat menenangkan dan menidurkan anak sehingga membantu mereka cepat pulih dari sakit.
Konteks:
Pada saat saya menjelajahi area Tana Toraja dengan sepeda motor, saya sempat bertanya pada masyarakat lokal apakah mereka dapat memainkan Karombi. Sebagian masyarakat pernah mendengar nama instrumen ini, terutama jika saya memperagakan cara memainkan alat ini dengan tangan saya. Namun tidak ada yang tahu siapa yang dapat memainkan instrumen ini, seperti yang dikatakan salah satu bapak yang saya temui, "semua orang yang bermain Karombi sudah tidak ada."
Meskipun begitu, penelitian saya sebelumnya yang saya temukan berkembang menjadi sebuah petunjuk yang menjanjikan. Seorang laki-laki bernama Ne' Karombi, tinggal di desa Batutamonga; di lembah di atas Rantepao, ditampilkan dalam sebuah video yang diunggah di Youtube dan saya menemukansatu halaman situs (ditulis oleh pengunggah video tersebut) yang berisi beberapa foto dan semacam biografi. Ketika saya menunjukkan video ini kepada teman saya, Frans (seorang artis lokal yang berbaik hati menerima saya sebagai tamu di Rantepao) tertawa karena dia berkata bahwa jika saya lihat lebih teliti, saya bisa melihat Frans duduk di latar belakang video tersebut. Frans berkata bahwa saya harus ke Batutamonga dan Ne' Karombi pasti akan bermain untuk saya.
Esoknya saya berangkat menuju Batutamonga; sebuah desa yang terkenal dengan pemandangan lembahnya yang indah serta dekatnya daerah ini dengan jalur trekking serta situs-situs kultural seperti makam yang terukir dari bongkahan batu besar.
Sembari saya menemukan sebuah penginapan yang sederhana, saya bertanya pada Mama Yos, sang pemilik penginapan tentang Ne' Karombi. Beliau terlihat bingung, namun kemudian salah anaknya muncul dan mengatakan bahwa ia tahu tempat yang saya maksud. Anak kecil ini lalu memandu saya sambil mempraktekkan bahasa Inggrisnya di sepanjang perjalanan.
Saat kami tiba di rumahnya, Ne' Karombi berada di luar sambil mengambil biji kopi dari pohon di dekat rumahnya. Rumahnya merupakan sejenis rumah panggung yang terbuat dari kayu dan dapat ditemukan di daerah Sulawesi. Yang saya dengar sebelumnya, Ne' Karombi pernah membuat semacam iklan kecil-kecilan tentang kemampuannya sebagai musisi; mungkin untuk menarik perhatian backpacker yang hendak pergi menuju Rantepao. Sayangnya ketika saya tiba di sana, tampaknya beliau tidak lagi melakukannya.
Saya menjelaskan proyek yang saya lakukan dan bertanya apakah saya dapat merekam musiknya di tempat yang lebih sepi. Beliau lalu mengiring saya ke rumahnya yang sederhana. Rumah tersebut beralaskan kayu dan tidak ada furnitur lain selain sebuah televisi. Kami kemudian duduk di sebuah projoh rumahnya (dengan lampu remang-remang) dan saya mendengarkan beliau bermain Karombi. Ne' Karombi bercerita bahwa nama aslinya adalah Pelipus Randan, namun orang-orang memanggilnya Ne' Karombi atau Kakek Karombi. Saat kami bercakap-cakap, Ne' Karombi menyayangkan bahwa hanya terdapat beberapa orang saja yang dapat memainkan alat musik Karombi. Bahkan putranya yang dapat membuat instrumen ini pun tidak dapat memainkannya. Ketika saya merekam, Ne' Karombi memainkan Karombi dengan istrinya, Ludia Sombo Allo. Beliau memainkan Karombi bersamaan dengan suara motor yang melintas, cucu-cucu beliau yang tertawa, serta suara kokok ayam.
Sebagai instrumen non-formal yang terbentuk dari alam, Karombi bahkan tidak memiliki lagu-lagu, namun hanya pola-pola tertentu yang bisa dimainkan. Untuk beberapa lagu, istri Ne' Karombi memainkan Karombi dengan nada yang berbeda; memainkan pola yang seringkali harmonis dan seringkali tidak. Saya menyadari bahwa layaknya alat musik harpa mulut yang pernah saya temui di Indonesia, instrumen ini bukan merupakan bentuk seni formal yang memiiki komposisi terstruktur. Instrumen ini hanya dimainkan sebagai bentuk kesenangan atas bermain musik saja.